dakwatuna.com - Rasa takjub kerap menjalari hati setiap
kulihat air bening itu berkilauan di dedaunan atau rerumputan saat matahari
mulai menyapa pagi. Biasanya segera kuhampiri benda-benda di mana bulir memukau
itu berada. Kutatap lama atau terkadang muncul isengku, menepuknya. Bersorak
riang hati bila si bulir bening bernama embun itu kutemukan menempel di daun
talas. Rasa heran sering melingkupi lipatan-lipatan otakku saat melihat daun
talas yang tetap terlihat kering walau disinggahi sang embun. Kugerak-gerakkan
daun talas itu, dan sang embun mengikuti gerakan itu dengan lincah.
Selarik memori di masa kecil kala kulihat embun, ternyata tak berubah hingga
kini. Sang embun selalu berhasil memukau mataku. Entahlah, keberadaannya di
antara dedaunan, bunga maupun rerumputan selalu mengalirkan kesejukan di mataku
dan kilau beningnya yang memantulkan cahaya sebagaimana cermin, menghadirkan
rasa takjub memenuhi rongga hati.
Saudaraku, adakah engkau pun mengalami hal yang sama dengan yang kurasakan
kala memandangi embun? Kalau ternyata engkau belum pernah memperhatikannya,
cobalah sekali waktu. Engkau bisa menemukan wajah sang embun di pagi hari atau
bisa saja dengan browsing foto-fotonya,
dan rasakanlah sensasinya.
Bila kita perhatikan bagaimana embun terbentuk, kurasa ada sesuatu yang
menarik untuk kita pelajari darinya. Embun biasanya terbentuk dengan baik pada
malam hari yang cerah dan tenang. Menurut teorinya, embun terbentuk ketika
udara yang berada di dekat permukaan tanah menjadi dingin mendekati titik di
mana udara tidak dapat lagi menahan semua uap air. Kelebihan uap air itu
kemudian berubah menjadi embun di atas benda-benda di dekat tanah. Embun juga
terbentuk dengan baik ketika kelembaban tinggi.
Coba kita perhatikan lagi, jika kita ibaratkan kehidupan embun itu pada
manusia, kita bisa menemukan orang-orang yang menyejukkan hati kita biasanya
bisa dipastikan orang tersebut memiliki hati sebening embun. Dia dapat kita
pastikan adalah orang-orang yang sanggup mengendalikan hatinya untuk selalu
dalam “suhu yang dingin” alias tenang dalam menghadapi segala hal. Dia akan
selalu berusaha mengendalikan suhu hatinya itu lebih dingin dari keadaan yang
berkecamuk di sekitarnya sehingga kita bisa merasakan hatinya bening bagai
embun..
Kebeningan hatinya ibarat cermin yang memantulkan cahaya-Nya. Tutur kata dan
tingkah laku orang-orang demikian biasanya tak beranjak dari lingkar kebaikan
yang tak dapat terbendung lagi pada pribadinya sendiri sehingga orang-orang di
sekitarnya akan merasakan kesejukan dari kebeningan embun hatinya. Seperti
dikatakan Imam Ghazali, bahwa hati manusia ibarat cermin, sedangkan petunjuk
Tuhan bagaikan nur atau cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar
bersih niscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi dan memantulkan
cahaya tersebut ke sekitarnya.
Orang-orang berhati sebening embun, mereka akan mampu melihat dunia dengan
terang benderang karena di anugerahi bashirah (pandangan hati) yang selalu
menuntunnya berbuat kebajikan. Dan bashirah akan memunculkan sifat seperti
keberanian, murah hati, penolong, dapat menahan nafsu, sabar, penyantun,
konsisten, suka memaafkan, gembira, senang bekerja sama dengan orang lain,
tenang, dan sifat-sifat mulia serta terhormat lainnya.
***
Pernah dalam lembar hidupku menjumpai dan bersahabat dengan seorang akhwat
yang dalam rasaku hatinya bening bagai embun. Penampilannya sangat bersahaja
namun orang-orang termasuk diriku, suka berinteraksi dengannya. Tak pernah ia
berkeluh walaupun di usianya yang beranjak senja belum bertemu jodoh.
Hari-harinya ia warnai dengan kesibukan menebar kebaikan mulai untuk kalangan
anak-anak, dewasa hingga para orang tua. Ya, ia seorang kepala sekolah di
sebuah TK, ia pun memimpin lembaga tahsin Al-Qur’an untuk muslimah. Tak
berhenti di situ saja, ia juga aktif mengisi halaqah-halaqah dan taklim serta
ia masih sempatkan waktunya mengajar tahsin di beberapa instansi. Tak jarang,
ia menjadi muara curhat dan keluh para peserta didiknya.
Setelah Allah memperkenankan doanya mendapatkan pasangan untuk mendampingi
gerak juangnya, ia tetap dengan segala aktivitasnya itu serta tetap berpribadi
sebening embun. Sehingga tak mengherankan saat Allah memanggilnya dalam usia
pernikahan yang masih terbilang baru, pelayat yang menyayangi dan merasa
kehilangan dirinya menyemut saat menghantar jenazahnya.
***
Menjadi pribadi berhati sebening embun bukanlah suatu hal yang mudah.
Diperlukan riyadhah/latihan yang terus menerus untuk menempa diri dan
mengendalikan suasana hati ketika berhadapan dengan berbagai persoalan hidup
serta mengendalikan gejolak jiwa saat berhadapan dengan godaan nafsu. Tetapi
yakinlah saudaraku, bila tempaan demi tempaan itu membuat hati kita menjadi
sebening embun yang dirasakan sejuknya oleh sekitar, maka bisa jadi akhir hidup
kita bisa seindah muslimah tersebut.
—
Mengenang seorang sahabat berhati sebening embun yang telah
kembali pada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar