Harapan dan impian setiap pemuda atau pemudi yang memasuki usia pernikahan
adalah memperoleh suami shalih atau istri shalihah, walaupun standar shalih
mungkin berbeda antara satu orang dengan yang lain, menurut A mungkin si dia
shalih, belum tentu menurut B demikian, akan tetapi bagaimanapun keduanya
sepakat berharap mendapatkan yang shalih dalam urusan pasangan hidup, perkara
ini hampir tidak diperselisihkan oleh dua orang, karena ia termasuk perkara
mendasar dalam bangunan dan tatanan rumah tangga yang akan diarungi oleh suami
istri.
Keshalihan suami istri adalah modal dasar yang tidak bisa ditawar dalam
menciptakan rumah tangga, yang kata orang, “sakinah, mawaddah wa
rahmah” , ini tidak keliru sebab realita memang membuktikan
demikian, sementara perkara-perkara selainnya hanya sebatas menunjang dan
melengkapi yang tidak berarti tanpa adanya keshalihan. Apalah artinya
ketampanan atau kecantikan tanpa keshalihan? Bisakah ia menjadikan rumah tangga
tegak kokoh tanpanya? Apalah artinya harta melimpah jika tidak dibarengi dengan
keshalihan? Bisa-bisa ia malah menjadi sebab petaka dan sengsara. Jabatan atau
kedudukan? Setali tiga uang, tidak berbeda.
Menikah bukan untuk sesaat dua saat akan tetapi untuk masa masya Allah,
walaupun ada pintu keluar darinya dengan talak dan khulu’, akan tetapi pintu
ini bersifat dharurat, tidak patut dibuka dalam kondisi lapang, dan dalam perjalanan
pernikahan tidak jarang terjadi rintangan dan sandungan, naik turun, senang
susah, sedih gembira, semuanya terjadi, hanya keshalihan yang bisa membimbing
suami dan istri untuk menyikapi semua itu dengan bijak yang pada akhirnya
membawa kepada kebaikan bagi mereka berdua.
Dari sini maka Rasulullah shallallaahu ‘laihi wasallam mengajak
kaum muslimin agar mengedepankan keshalihan dalam memilih suami atau istri,
walaupun ada faktor-faktor lain yang tidak keliru jika diperhatikan, akan
tetapi perkara yang satu ini adalah yang terdepan, beliau shallallaahu
‘laihi wasallam bersabda kepada siapa pun yang berminat menikah, “Seorang
wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kedudukannya,
kecantikannya dan agamanya, pilihlah pemilik agama niscaya kamu beruntung.”
(HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Kepada para wali sebagai pemegang hak menikahkan, Rasulullah shallallaahu
‘laihi wasallam bersabda, “Jika orang yang kamu ridhai agama dan
akhlaknya melamar kepadamu maka nikahkanlah dia.” (HR. at-Tirmidzi, dengan
sanad shahih).
Setelah Anda sepakat mengedepankan keshalihan dalam perkara ini, maka
pertanyaan yang mungkin terbersit adalah bagaimana mendapatkan suami atau istri
yang demikian?
Jawabannya mudah, hanya dengan sebuah langkah dasar yaitu jadikan diri Anda
shalih terlebih dulu, hanya ini yang Anda perlukan. Sesederhana inikah
teorinya? Benar. Penjelasannya begini.
Fakta umum yang berjalan dalam kehidupan ini adalah bahwa sesuatu cenderung
kepada yang sepadan dan sesuai dengannya, begitu pula sebaliknya, sesuatu akan
menghindar dari yang berbeda dengannya, semakin banyak dan besar titik-titik
kesepadanan dan kesesuaian antara dua perkara atau antara dua orang, semakin
dekat dan intens kecenderungan antara keduanya dan semakin besar perbedaan
antara dua orang, semakin lebar jarak dan jurang di antara keduanya. Mudah
saja, coba Anda melihat lembu, ia akan berkawan dan dekat kepada sesama lembu,
karena titik kecocokan yang demikian besar di antara mereka, domba berkumpul
dengan kawanannya dan begitu seterusnya. Anda melihat kerbau bergaul dengan
ayam? Mengapa? Karena adanya titik perbedaan yang besar. Yang ingin penulis
katakan bahwa kecenderungan dan kedekatan diawali dengan perasaan adanya
kesamaan dan kesesuaian.
Setelah itu tariklah kesimpulan ini ke dalam alam pergaulan manusia, Anda
melihat bahwa ternyata manusia cenderung kepada manusia yang memiliki sisi-sisi
kesamaan dengan dirinya dan menjauh dari manusia yang memiliki titik perbedaan
dengan dirinya. Para penggemar sepak bola berkumpul dengan sesama penggemar
sepak bola, para penggemar hobi A berkumpul dengan sesamanya dan begitu
seterusnya, sehingga terbentuk klub-klub, organisasi-organisasi,
perkumpulan-perkumpulan, partai-partai atau apalah namanya, di mana titik
kesamaanlah yang mendorong mereka ke sana. Lihatlah kepada diri Anda, dengan
siapa Anda cenderung? Tidak keliru kan apa yang penulis katakan?
Jadi pada saat Anda menjadikan diri sebagai orang yang shalih berarti secara
otomatis Anda telah memiliki password untuk masuk ke dalam lingkaran orang-orang
shalih dan mempunyai titik kesamaan dengan mereka serta mempunyai peluang besar
untuk menjadi bagian dari mereka dengan mendapatkan salah seorang dari mereka.
Dan Anda perlu tahu bahwa dari semua perkara yang mengumpulkan dan menyatukan
kawanan manusia dengan sesamanya, yang paling kuat adalah kebaikan atau
keshalihan. Selainnya hanya bersifat temporal, orang-orang yang disatukan
karena harta misalnya, akan bubar seiring dengan lenyapnya harta, orang-orang
yang dikumpulkan karena kesenangan, akan buyar seiring dengan berubahnya
kesenangan. Tetapi orang-orang yang diikat oleh keshalihan akan selalu terikat
sekuat keshalihan itu sendiri.
Kebaikan berjodoh dengan kebaikan, orang-orang yang baik berjodoh dengan
orang-orang yang baik, keburukan berdampingan dengan keburukan, orang-orang
yang buruk berkawan dengan orang-orang buruk, ini sudah menjadi sunnatullah
dalam kehidupan. “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” (QS. an-Nur: 3). “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki
yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang
baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula).” (QS. an-Nur: 26).
Dalam sejarah pernikahan kita melihat orang yang paling shalih Muhammad shallallaahu
‘laihi wasallam, para pendampingnya adalah para wanita shalihah, kita
melihat putri-putri beliau yang shalihah berjodoh dengan para suami yang shalih
pula, para sahabat-sahabat beliau yang shalih beristri wanita-wanita yang
sepadan dan selevel dengan mereka dan begitu seterusnya. Maka jika Anda
berhasrat memperoleh pasangan yang shalih, shalihkan diri Anda agar hasrat Anda
ini terwujud sehingga Anda tidak menggantang asap, layaknya pungguk merindukan
rembulan.
Inilah keadilan dan kebijaksanaan, dua perkara yang sejenis tersatukan, dua
hal yang sepadan terkumpul dan dua orang yang shalih dipertemukan. Wallahu
a’lam.
(Oleh: Ust. Izzudin Karimi, Lc).
Jamaah jama'ah
rahimakumullah
Anak adalah buah hati bagi kedua orang tuanya yang sangat disayangi dan
dicintainya.
Sewaktu bahtera rumah tangga pertama kali diarungi, maka pikiran pertama yang
terlintas dalam benak suami istri adalah berapa jumlah anaknya kelak akan
mereka miliki serta kearah mana anak tersebut akan dibawa.
Menurut Sunnah melahirkan anak yang banyak justru yang terbaik. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
Artinya: “Nikahilah wanita
yang penuh dengan kasih sayang dan karena sesungguhnya aku bangga pada kalian
dihari kiamat karena jumlah kalian yang banyak.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’I,
kata Al Haitsamin).
Namun yang menjadi masalah
adalah kemana anak akan kita arahkan setelah mereka terlahir. Umumnya orang tua
menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi anak yang shalih, agar
setelah dewasa mereka dapat membalas jasa kedua orang tuanya. Namun obsesi
orang tua kadang tidak sejalan dengan usaha yang dilakukannya. Padahal usaha
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi terbentuknya watak dan
karakter anak. Obsesi tanpa usaha adalah hayalan semu yang tak akan mungkin
dapat menjadi kenyataan.
Bahkan sebagian orang tua
akibat pandangan yang keliru menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi
bintang film (Artis), bintang iklan, fotomodel dan lain-lain. Mereka
beranggapan dengan itu semua kelak anak-anak mereka dapat hidup makmur seperti
kaum selebritis yang terkenal itu. Padahal dibalik itu semua mereka kering akan
informasi tentang perihal kehidupan kaum selebritis yang mereka puja-puja. Hal
ini terjadi akibat orang tua yang sering mengkonsumsi berbagai macam
acara-acara hiburan diberbagai media cetak dan elektronik, karena itu opininya
terbangun atas apa yang mereka lihat selama ini.
Jamaah jum’at
rahimakumullah
Kehidupan sebagian besar selebritis yang banyak dipuja orang itu tidak lebih
seperti kehidupan binatang yang tak tahu tujuan hidupnya selain hanya makan dan
mengumbar nafsu birahinya. Hura-hura, pergaulan bebas, miras, narkoba dan gaya
hidup yang serba glamour adalah konsumsi sehari-hari mereka. Sangat jarang kita
saksikan di antara mereka ada yang perduli dengan tujuan hakiki mereka
diciptakan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala , kalaupun ada mereka hanya
menjadikan ritualisme sebagai alat untuk meraih tujuan duniawi, untuk mengecoh
masyarakat tentang keadaan mereka yang sebenarnya. Apakah kita menginginkan
anak-anak kita menjadi orang yang jauh dari agamanya yang kelihatannya bahagia
di dunia namun menderita di akhirat? Tentu tidak. Allah Subhannahu wa Ta'ala
berfirman:
artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan)mereka” (An Nisa: 9).
Pengertian lemah dalam ayat
ini adalah lemah iman, lemah fisik, lemah intelektual dan lemah ekonomi. Oleh
karena itu selaku orang tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, maka
mereka harus memperhatikan keempat hal ini. Pengabaian salah satu dari empat
hal ini adalah ketimpangan yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan pada anak.
Imam Ibnu Katsir dalam
mengomentari pengertian lemah pada ayat ini memfokuskan pada masalah ekonomi.
Beliau mengatakan selaku orang tua hendaknya tidak meninggalkan keadaan
anak-anak mereka dalam keadaan miskin . (Tafsir Ibnu Katsir: I, hal 432) Dan
terbukti berapa banyak kaum muslimin yang rela meninggalkan aqidahnya (murtad)
di era ini akibat keadaan ekonomi mereka yang dibawah garis kemiskinan.
Banyak orang tua yang
mementingkan perkembangan anak dari segi intelektual, fisik dan ekonomi semata
dan mengabaikan perkembangan iman. Orang tua terkadang berani melakukan hal
apapun yang penting kebutuhan pendidikan anak-anaknya dapat terpenuhi,
sementara untuk memasukkan anak-anak mereka pada TK-TP Al-Qur’an terasa begitu
enggan. Padahal aspek iman merupakan kebutuhan pokok yang bersifat mendasar
bagi anak.
Ada juga orang tua yang menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan bagi anak-anak
mereka dari keempat masalah pokok di atas, namun usaha yang dilakukannya kearah
tersebut sangat diskriminatif dan tidak seimbang. Sebagai contoh: Ada orang tua
yang dalam usaha mencerdaskan anaknya dari segi intelektual telah melaksanakan
usahanya yang cukup maksimal, segala sarana dan prasarana kearah tercapainya
tujuan tersebut dipenuhinya dengan sungguh-sungguh namun dalam usahanya
memenuhi kebutuhan anak dari hal keimanan, orang tua terlihat setengah hati,
padahal mereka telah memperhatikan anaknya secara bersungguh-sungguh dalam segi
pemenuhan otaknya.
Jamaah jum’at
rahimakumullah.
Karena itu sebagian orang tua yang bijaksana, mesti mampu memperhatikan
langkah-langkah yang harus di tempuh dalam merealisasikan obsesinya dalam
melahirkan anak yang shalih. Di bawah ini akan kami ketengahkan beberapa
langkah yang cukup representatif dan membantu mewujudkan obsesi tersebut:
1. Opini atau persepsi
orang tua atau anak yang shalih tersebut harus benar-benar sesuai dengan kehendak
Islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam
, bersabda:
Artinya: “Jika wafat anak
cucu Adam, maka terputuslah amalan-amalannya kecuali tiga: Sadaqah jariah atau
ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang selalu mendoakannya.”
(HR.Muslim)
Dalam hadits ini sangat
jelas disebutkan ciri anak yang shalih adalah anak yang selalu mendoakan kedua
orang tuanya. Sementara kita telah sama mengetahui bahwa anak yang senang mendoakan
orang tuanya adalah anak sedari kecil telah terbiasa terdidik dalam
melaksanakan kebaikan-kebaikan,melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu
wa Ta'ala , dan menjauhi larangan-laranganNya. Anak yang shalih adalah anak
yang tumbuh dalam naungan DienNya, maka mustahil ada anak dapat bisa mendoakan
orang tuanya jika anak tersebut jauh dari perintah-perintah Allah Subhannahu wa
Ta'ala dan senang bermaksiat kepadaNya. Anak yang senang bermaksiat kepada
Allah Subhannahu wa Ta'ala , jelas akan jauh dari perintah Allah dan
kemungkinan besar senang pula bermaksiat kepada kedua orang tuanya sekaligus.
Dalam hadits ini dijelaskan
tentang keuntungan memiliki anak yang shalih yaitu, amalan-amalan mereka
senantiasa berkorelasi dengan kedua orang tuanya walaupun sang orang tua telah
wafat. Jika sang anak melakukan kebaikan atau mendoakan orang tuanya maka amal
dari kebaikannya juga merupakan amal orang tuanya dan doanya akan segera
terkabul oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala .
Jadi jelaslah bagi kita akan gambaran anak yang shalih yaitu anak yang taat
kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , menjauhi larangan-laranganNya, selalu
mendoakan orang tuanya dan selalu melaksanakan kebaikan-kebaikan.
2. Menciptakan lingkungan
yang kondusif ke arah tercipta-nya anak yang shalih.
Lingkungan merupakan tempat di mana manusia melaksana-kan
aktifitas-aktifitasnya. Secara mikro lingkungan dapat dibagi dalam tiga bagian,
yaitu:
a. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan sebuah institusi kecil dimana anak mengawali masa-masa
pertumbuhannya. Keluarga juga merupakan madrasah bagi sang anak. Pendidikan
yang didapatkan merupakan pondasi baginya dalam pembangunan watak, kepribadian
dan karakternya.
Jama'ah jum’at
rahimakumullah
Jika anak dalam keluarga senantiasa terdidik dalam warna keIslaman, maka
kepribadiannya akan terbentuk dengan warna keIslaman tersebut. Namun sebaliknya
jika anak tumbuh dalam suasana yang jauh dari nilai-nilai keIslaman, maka jelas
kelak dia akan tumbuh menjadi anak yang tidak bermoral.
Seorang anak yang terlahir dalam keadaan fitrah, kemudian orang tuanyalah yang
mewarnainya, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
Artinya: “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan yang fitrah (Islam), maka orang tuanya yang
menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari)
Untuk itu orang tua harus dapat memanfaatkan saat-saat awal dimana anak kita
mengalami pertumbuhannya dengan cara menanamkan dalam jiwa anak kita kecintaan
terhadap diennya, cinta terhadap ajaran Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya
Shallallaahu alaihi wa Salam, sehingga ketika anak tersebut berhadapan dengan
lingkungan lain anak tersebut memiliki daya resistensi yang dapat menangkal
setiap saat pengaruh negatif yang akan merusak dirinya.
Agar dapat memudahkan jalan
bagi pembentukan kepribadian bagi anak yang shalih, maka keteladanan orang tua
merupakan faktor yang sangat menentukan. Oleh karena itu, selaku orang tua yang
bijaksana dalam berinteraksi dengan anak pasti memperlihatkan sikap yang baik,
yaitu sikap yang sesuai dengan kepribadian yang shalih sehingga anak dapat
dengan mudah meniru dan mempraktekkan sifat-sifat orang tuanya
b. Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan di mana anak-anak berkumpul bersama teman-temannya
yang sebaya dengannya. Belajar, bermain dan bercanda adalah kegiatan rutin
mereka di sekolah. Sekolah juga merupakan sarana yang cukup efektif dalam
membentuk watak dan karakter anak. Di sekolah anak-anak akan saling
mempengaruhi sesuai dengan watak dan karakter yang diperolehnya dalam keluarga
mereka masing-masing. Anak yang terdidik secara baik di rumah tentu akan
memberi pengaruh yang positif terhadap teman-temanya. Sebaliknya anak yang di
rumahnya kurang mendapat pendidikan yang baik tentu akan memberi pengaruh yang
negatif menurut karakter dan watak sang anak.
Faktor yang juga cukup
menentukan dalam membentuk watak dan karakter anak di sekolah adalah konsep
yang diterapkan sekolah tersebut dalam mendidik dan mengarahkan setiap anak
didik.
Sekolah yang ditata dengan
managemen yang baik tentu akan lebih mampu memberikan hasil yang memuaskan
dibandingkan dengan sekolah yang tidak memperhatikan sistem managemen. Sekolah
yang sekedar dibangun untuk kepentingan bisnis semata pasti tidak akan mampu
menghasilkan murid-murid yang berkwalitas secara maksimal, kualitas dalam
pengertian intelektual dan moral keagamaan.
Kualitas intelektual dan
moral keagamaan tenaga pengajar serta kurikulum yang dipakai di sekolah
termasuk faktor yang sangat menentukan dalam melahirkan murid yang berkualitas
secara intelektual dan moral keagamaan.
Oleh sebab itu orang tua
seharusnya mampu melihat secara cermat dan jeli sekolah yang pantas bagi
anak-anak mereka. Orang tua tidak harus memasukkan anak mereka di
sekolah-sekolah favorit semata dalam hal intelektual dan mengabaikan faktor
perkembangan akhlaq bagi sang anak, karena sekolah tersebut akan memberi warna
baru bagi setiap anak didiknya.
Keseimbangan pelajaran yang diperoleh murid di sekolah akan lebih mampu
menyeimbangkan keadaan mental dan intelektualnya. Karena itu sekolah yang
memiliki keseimbangan kurikulum antara pelajaran umum dan agama akan lebih
mampu memberi jaminan bagi seorang anak didik.
c. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat adalah komunitas yang terbesar dibandingkan dengan lingkungan yang
kita sebutkan sebelumnya. Karena itu pengaruh yang ditimbulkannya dalam merubah
watak dan karakter anak jauh lebih besar.
Masyarakat yang mayoritas anggotanya hidup dalam kemaksiatan akan sangat
mempengaruhi perubahan watak anak kearah yang negatif. Dalam masyarakat seperti
ini akan tumbuh berbagai masalah yang merusak ketenangan, kedamaian, dan
ketentraman.
Anak yang telah di didik secara baik oleh orang tuanya untuk selalu taat dan
patuh pada perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya, dapat saja
tercemari oleh limbah kemaksiatan yang merajalela disekitarnya. Oleh karena itu
untuk dapat mempertahankan kwalitas yang telah terdidik secara baik dalam
institusi keluarga dan sekolah, maka kita perlu bersama-sama menciptakan
lingkungan masyarakat yang baik, yang kondusif bagi anak.
Masyarakat terbentuk atas
dasar gabungan individu-individu yang hidup pada suatu komunitas tertentu.
Karena dalam membentuk masyarakat yang harmonis setiap individu memiliki peran
dan tanggung jawab yang sama. Persepsi yang keliru biasanya masih mendominasi
masyarakat. Mereka beranggapan bahwa yang bertanggung jawab dalam masalah ini
adalah pemerintah, para da’i, pendidik atau ulama. Padahal Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam , bersabda:
Artinya: “Barangsiapa di
antaramu melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika ia
tidak sanggup maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup maka dengan hatinya.
Dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Jika setiap orang merasa
tidak memiliki tanggung jawab dalam hal beramar ma’ruf nahi munkar, maka segala
kemunkaran bermunculan dan merajalela di tengah masyarakat kita dan lambat atau
cepat pasti akan menimpa putra dan putri kita. Padahal kedudukan kita sebagai
umat yang terbaik yang dapat memberikan ketentraman bagi masyarakat kita hanya
dapat tercapai jika setiap individu muslim secara konsisten menjalankan amar
ma’ruf nahi munkar, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
Artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah...”
(Ali Imran: 110).
Jamaah jum’at rahimakumullah
Amar ma’ruf adalah kewajiban setiap individu masing-masing yang harus
dilaksanakan. Jika tidak maka Allah Subhannahu wa Ta'ala , pasti akan
menimpakan adzabnya di tengah-tengah kita dan pasti kita akan tergolong
orang-orang yang rugi Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah
orang-orang yang beruntung.” (Ali-Imran: 104).
Untuk itu di akhir khutbah
ini marilah kita bersama-sama merasa peduli terhadap kelangsungan hidup
generasi kita, semoga dengan kepedulian kita itulah Allah Subhannahu wa Ta'ala
akan senantiasa menurunkan pertolonganNya kepada kita dan memenangkan Islam di
atas agama-agama lainnya. Marilah kita berdo’a kepada Allah Subhannahu wa
Ta'ala .
Kita sebagai orang Islam sudah
semestinya selalu berkeinginan untuk memperbaiki diri, menambah kualitas diri,
dan menjaga kestabilan iman kita. Mengamalkan amalan sholeh yang benar-benar di
contohkan oleh Syariah tanpa menambah dan menguranginya, dengan mencari ilmu
dan mempraktekkannya.
Semangat dan iman selalu naik turun.
ketika kita sedang semangat dan iman kita sedang naik, maka kita sangat ingin
melakukan amalan ibadah yang banyak, akan tetapi jika iman kita sedang turun,
maka terasa malas untuk melakukan ibadah yang sangat banyak.
Para sahabat saja sempat mengeluh
akan banyaknya ibadah dalam Islam. akan tetapi Rosulullah -sholallahu 'alaihi
wasallam selalu memberikan solusi terbaik bagi ummatnya, yaitu memilih amalan
yang di sukai dan melaksanakannya secara kontinu.
Artinya : "Amalan yang paling
di cintai oleh Allah adalah amalan yangkontinu walaupun sedikit."
(HR Bukhori dan Muslim)
Beliau
juga memerintahkan untuk melaksanakan amalan yang kita mampu untuk
melaksanakannya dan tidak memberatkan diri kita. beliau bersabda :
واكْلَفُوا من الْعَمَلِ ما تُطيقون ، فإنَّالله لا يَمَلُّ
حتَّي تَملُّوا ، وإنَّ أحَبَّ الأعمال إلى الله ما دَامَ وإنقلَّ
Artinya : "Laksanakan amalan semampu kalian,
sesungguhnya Allah tidakbosan sampai kalian (sendiri) yang bosan. dan sesungguhnya amalan yang palingdi
cintai Allah adalah amalan yang kontinu (berkesinambungan)
walaupunsedikit." (HR Abu Daud)
Rosulullah-sholallahu
'alaihi wasallam- juga menjelaskan kepada kita bahwa amal ibadah kita tidak
akan bisa memasukkan kita ke dalam surga kecuali dengan rahmat-Nya. beliau
bersabda :
Artinya
: "Beramallah dengan benar dan sungguh-sungguh, ketahuilahbahwa
sesungguhnya seorang dari kalian tidak akan masuk surga karena amalannya.mereka
berkata : dan apakah engkau juga wahai Rosulullah? beliau menjawab :tidak juga
aku, kecuali Allah memberikanku rahmat-Nya. dan ketahuilah bahwaamalan yang
paling di cintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu(berkesinambungan)
walaupun itu sedikit." (HR Muslim)
Bagi kita selaku seorang muslim,
untuk memperhatikan arahan Rosulullah-sholallahu 'alaihi wasallam- di atas. dan
kita beramal harus sesuai contohdari beliau dan para sahabatnya. beramal
sedikit akan tetapi bisa terus menerus(kontinu) itu lebih baik dari pada
beramal banyak akan tetapi tidak bisakontinu.