dakwatuna.com – Salah satu tanya yang paling saya takuti
adalah “apakah Anda mempunyai sahabat?”
Suatu ketika dalam sebuah seminar NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat
Addictive Berbahaya), pembicara menggunakan sebuah analogi untuk menjawab
pertanyaan salah seorang peserta seminar. Penganalogian tersebut dipakai untuk
memudahkan peserta dalam memahami inti dari jawaban yang akan disampaikan. Saat
itu analoginya tentang kesetiaan dua orang yang saling bersahabat selama 12
tahun lamanya terkait dengan penggunaan narkoba. Tak dinyana ternyata salah
seorang di antaranya adalah pengguna narkoba yang tertangkap dan divonis 12
tahun masa kurungan.
Pembicara kemudian melemparkan sebuah tanya kepada peserta seminar, “siapa
di sini yang mempunyai sahabat?” Entah mengapa ketika pertanyaan itu terlontar
saya merasa tertampar. Memang saat itu pandangan kami – antara pembicara dan
saya – bertemu, namun bukan hal itu yang seolah menampar saya. Terlebih pada
isi tanya yang disampaikannya. Kemudian pembicara melanjutkan penjelasannya.
Satu hal yang menjadi pokok bahasan saya pada catatan kali ini adalah
pertanyaan pembicara tersebut, “Apakah saya mempunyai sahabat?”
Teringat kembali ekspresi saya ketika tanya itu terlontar; datar. Jujur saya
bingung. Ketika banyak peserta yang mengacung dan menjawab “SAYA!” Sebaliknya
saya malah tertunduk dan kebingungan. Benar juga – ujar saya – saya ini sebenarnya
punya sahabat tidak ya? Lalu banyak lagi pertanyaan yang berlompatan di otak
saya. “Kalau saya punya, siapa ya sahabat saya? Si A, si B, si C, atau
semuanya? Atau malah saya tidak punya sahabat? Atau saya yang belum bisa
menjadi seorang sahabat? Ah, sepertinya saya sudah menjadi sahabat. Tapi,
apakah saya tipe sahabat yang baik? Jangan-jangan saya yang belum menjadi
sahabat yang baik?”
Saya semakin larut dalam tanya saya sendiri. Di sini saya berefleksi,
sedalam-dalamnya refleksi. Apakah sahabat itu terlahir dari dalam diri saya
atau orang yang datang lalu mengikrarkan diri untuk bersama saya? Ada pendapat
yang cukup ‘menohok’ dari sastrawan kenamaan yaitu Kahlil Gibran, yang
kata-kata bijaknya telah dikenal oleh banyak orang. Menurutnya “Tidak ada
sahabat sejati, yang ada hanyalah kepentingan.”
Lalu bagaimana jika kita kaitkan dengan romantisme kisah persahabatan antara
Nabi Muhammad SAW beserta sahabat dan sohabiyah, apakah itu juga persahabatan
berlandaskan kepentingan semata?
Secara pribadi saya setuju jika persahabatan yang terikat pada zaman Nabi
Muhammad adalah sahabat yang berlandas pada kepentingan. Kepentingan akan
kebutuhan saling menjaga dalam iman, saling menasihati dalam Islam, saling
mengasihi dalam perjuangan, saling menguatkan dalam kelemahan dan saling
mencintai dalam ukhuwah persaudaraan. Kepentingan-kepentingan tersebutlah yang
kemudian saling menyatu-padukan hati-hati mereka untuk tetap dalam satu
barisan, penegak kebenaran penolak kebatilan.
Dan Rabithah pun menjadi senjata paling pamungkas bagi keretakan dan
keterikatan mereka. Betapa lembutnya dedo’a yang selalu dipanjatkan…
“Sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati ini telah berpadu,
berhimpun dalam naungan cintaMu. Bertemu dalam ketaatan, bersatu dalam
perjuangan, menegakkan syariat dalam kehidupan. Kuatkanlah ikatannya,
kekalkanlah cintanya, tunjukilah jalan-jalannya. Terangilah dengan cahayaMu
yang tiada pernah padam. Ya Rabbi bimbinglah kami”
Maka jarak tak lagi menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap saling
memenuhi kepentingan satu sama lain, karena hati-hati mereka telah lebih dulu
terpadu, terhimpun dalam naungan yang Maha Melindungi.
Sangat miris rasanya jika dibandingkan dengan fenomena gaya persahabatan
yang tengah berkembang saat ini. Jarak kamar yang bahkan hanya terhitung
jengkal pun seolah seperti terpisah selat dan pulau. Kesibukan masing-masing
selalu menjadi alibi di atas semuanya. Tak ada lagi saling mengajak untuk
mendirikan jamaah, mengoreksi muraja’ah, ketuk pintu untuk membangunkan qiyamul
lail atau sekedar sharing kegalauan. Lalu yang
menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kesehatan ruhiyah kita antara sahabat dan
kepentingan?
Maka seringlah gumamkan Rabithah sembari munculkan wajah-wajah sahabatmu –
Allah akan genggam kepentingan di antara kalian. Bahkan kita bukanlah pemilik
hati kita, maka,
“Yaa muqallibal kuluub… tsabbit qalbi ‘ala diniik, tsabbit qalbi
‘ala to’atiik…” karena “Teman-teman akrab pada
hari (kiamat) nanti sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali
orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Az Zukhruf: 67)
Refleksi saya lalu bermuara pada diri saya sendiri, saya tidak akan mendapat
sahabat yang hakiki selama saya belum menjadi sahabat yang baik, yang membawa
kepentingan atas dasar keimanan pada ketauhidan Allah Azza Wa Jalla.
Wallahua’lam bissowab…
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/12/17748/tidak-ada-sahabat-sejati-hanya-kepentingan/#ixzz1kf6cnr6S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar